Hak Asuh Anak Pasca Perceraian

Gejolak rumah tangga seringkali tidak hanya berakhir setelah perceraian. Terlebih jika selama perkawinan ada buah hati (anak) pemberian Tuhan. 

Persoalan siapa yang berhak terhadap hak asuh anak, siapa yang harus menafkahi anak, siapa yang harus mengurus anak, dan siapa yang bisa tinggal bersama anak serta lain sebagainya menjadi sumber masalah yang selalu menimpa suami istri pasca perceraian.

Di Indonesia, persoalan ini tidak bisa diselesaikan jika tidak melalui jalur Sidang Pengadilan (Litigasi).

Pada artikel kali ini saya akan membahas hak asuh anak pasca perceraian.

{getToc} $title={Table of Contents}

Photo by Marisa Howenstine on Unsplash


Apa Yang Dimaksud Dengan Hak Asuh Anak?

Sebelum membahas lebih jauh, ada baiknya kalian mengetahui dulu apa itu hak asuh anak.

Coba perhatikan, ada 3 suku kata dalam “Hak Asuh Anak”. Suku kata ini terdiri dari HAK, ASUH dan ANAK.

Pengertian hak menurut Prof. Dr. Notonagoro merupakan kuasa untuk menerima atau melakukan sesuatu yang semestinya diterima atau dilakukan memulu oleh pihak tertentu dan tidak dapat oleh pihak lain manapun juga yang pada prinsipnya dapat dituntut secara paksa olehnya.

Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) hak adalah kebenaran, milik atau kepunyaan, kewenangan, kekuasaan untuk berbuat sesuatu (karena telah ditentukan oleh undang-undnag, aturan, dan sebagainya), kekuasaan yang benar atas sesuatu atau untuk menuntut sesuatu, dan wewenang menurut hukum.

Menurut KBBI Asuh diartikan sebagai menjaga (merawat dan mendidik) anak kecil, membimbing (membantu, melatih, dan sebagainya) supaya dapat berdiri sendiri.

Kemudian Anak dalam KBBI diartikan sebagai keturunan kedua atau manusia yang masih kecil.

Jadi dari pengertian masing-masing kata di atas, Hak Asuh Anak dapat diartikan sebagai hak atau kekuasaan dan wewenang menurut hukum untuk memelihara, mendidik dan membimbing anak hingga anak tumbuh dewasa.

Dasar Hukum Hak Asuh Anak

Dalam hukum positif Indonesia telah diatur batas usia seseorang disebut sebagai anak.

Batas usia anak ini diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Pasal 1 UU No. 35 Tahun 2014 ini menentukan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.

Kemudian pada Pasal 2 menyebutkan, perlindungan terhadap anak adalah hal yang dilakukan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

Kewajiban orang tua untuk mengurus anak sebaik-baiknya telah diatur dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Dalam Pasal 45 ayat 1 UU Perkawinan menyebutkan bahwa kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya. Kemudian pada ayat 2 tertulis Kewajiban orang tua yang dimaksud pada ayat 1 pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus.

Dari Pasal 45 Ayat 2 UU Perkawinan tersebut telah jelas tanggung jawab orang tua untuk mengurus dan memelihara anak sebaik-baiknya hingga anak tumbuh dewasa tidak hilang walaupun perkawinan antara keduanya putus akibat perceraian.

Selain tanggung jawab orang tua, anak juga memiliki tanggung jawab untuk mengurus orang tuanya. Jadi anak yang telah diurus, dirawat dan diberikan pendidikan  yang layak, jangan lupa untuk balas budi. Karena balas budi kepada orang tua selain menurut agama adalah pahala yang besar, menurut hukum positif juga sudah diatur dalam Pasal 46 UU Perkawinan.

Kemudian anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah menikah berdasarkan Pasal 47 UU Perkawinan, masih berada dalam kekuasaan orang tuanya selama orang tuanya tidak kehilangan kekuasaan atau haknya.

Mahkamah Agung (MA) dalam Putusan Nomor 102 K/Sip/1973 tanggal 24 April 1975 telah menjelaskan mengenai hak asuh anak pasca perceraian. Dalam putusannya MA menjelaskan, dalam penentuan pemberian hak asuh anak dalam perceraian haruslah mengutamakan ibu kandung. Terlebih lagi untuk hak asuh anak yang masih di bawah umur atau 12 Tahun kebawah.

Bagi yang beragama muslim, Pasal 156 huruf (c) Kompilasi Hukum Islam (KHI) menjelaskan bahwa seorang ibu bisa kehilangan hak asuh anak sekalipun masih berusia di bawah 12 Tahun apabila ia tidak dapat menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak. Jika demikian, maka atas permintaan kerabat yang bersangkutan, Pengadilan Agama dapat memindahkan hak asuh pada keraban lain.

Secara rinci berikut ini ketentuan hak asuh anak bagi yang beragama muslim dan non-muslim.

1. Hak Asuh Anak bagi yang beragama muslim

Bagi yang beragama muslim ketentuan hak asuh anak terdapat dalam KHI. Ketentuan hak asuh anak ini dibagi menjadi 2, yaitu hak asuh anak dibawah umur 12 tahun dan diatas 12 tahun.

Bagi anak yang belum berumur 12 tahun atau belum mummayiz menjadi hak ibu untuk memeliharanya, bila ibunya telah meninggal dunia maka kedudukan diganti oleh:

  • Perempuan dalam garis lurus ke atas dari pihak ibu (nenek dari pihak ibu)
  • Ayah kandung
  • Perempuan dalam garis lurus ke atas dari ayah (nenek dari pihak ayah)
  • Saudara perempuan dari anak yang bersangkutan
  • Kerabat perempuan sedarah menurut garis samping dari ibu (bibi/tente dari pihak ibu)
  • Kerabat perempuan sedarah menurut garis samping dari ayah (bibi/tante dari pihak ayah)

Kemudian bagi yang sudah berusia di atas 12 tahun diserahkan kepada anak untuk menentukan atau memilih antara ibu atau ayah kandungnya sebagai pemegang hak asuhnya.

2. Hak Asuh Anak bagi yang beragama non-muslim

Bagi yang beragama non-muslim, jika ada perselisihan terkait hak asuh anak mereka maka pengadilan yang akan memutuskan.

Pertimbangan Hakim dalam Memutuskan Hak Asuh Anak

Majelis Hakim biasanya akan mempertimbangkan berbagai hak dalam menentukan siapa pihak yang bisa memegang hak asuh anak. Pertimbangan tersebut pada umumnya berkaitan dengan kesejahteraan anak. Berikut beberapa hal yang sering dipertimbangkan majelis hakim sebelum menetapkan hak asuh anak, yaitu:

1. Tingkah laku orang tua

Jika anda seorang pemabuk, penjudi dan sering melakukan kekerasan fisik yang berlebihan kepada anak, jangan harap bisa mendapatkan hak asuh anak. Hal ini penting agar anak dapat bertumbuh dilingkungan yang nyaman. Karena perilaku buruk dari orang tua bisa jadi akan terekam terus menjadi trauma yang mendalam bagi anak. Tidak menutup kemungkinan anak yang sering mendapatkan kekerasan setelah dewasa akan melakukan kekerasan juga kepada anak-anak mereka. Selain itu bisa jadi anak akan ikut terjerumus dalam kebiasaan buruk yang sering dilihat dari orang tuanya. Hal inilah yang dihindari oleh majelis hakim sebelum menetapkan hak asuh anak.

2. Perhatian kepada anak

3. Kemampuan ekonomi

Bagi yang beragama muslim, hak asuh anak memang diatur menjadi hak seorang ibu pasca perceraian. Namun ada beberapa faktor yang bisa menghilangkan hak seorang ibu terhadap anak-anaknya, yaitu:

1. Pindah agama/tidak beragama islam;

2. Berkelakuan buruk seperti pemabuk, penjudi, pencandu narkoba, penganiaya dll;

3. Mengalami gangguan jiwa.

Cara Mengajukan Gugatan Hak Asuh Anak

Untuk menuntut hak asuh anak, praktek hukumnya bisa diajukan bersamaan dengan gugatan cerai atau sesudah perkara perceraian diputuskan didepan sidang pengadilan.

Namun untuk menghemat waktu dan biaya saran saya kalian harus menyertakan tuntutan hak asuh anak bersamaan dengan gugatan perceraian.

Jika kalian adalah pihak tergugat, kalian bisa mengajukan tuntutan hak asuh anak bersamaan dengan jawaban/eksepsi yang disertai dengan gugatan rekonvensi.

Bagi yang sudah terlanjur bercerai, kalian bisa mengajukan gugatan hak asuh anak di Pengadilan Negeri (non-muslim) atau Pengadilan Agama (muslim).

Kehilangan Hak Asuh Anak

Penting untuk diingat, orang tua yang mendapatkan hak asuh anak bisa saja kehilangan haknya jika:

1. Sangat melalaikan kewajibannya sebagai orang tua terhadap anak

2. Memiliki perilaku yang sangat buruk terhadap anak maupun terhadap kehidupan social.

Jika kalian mendapati mantan suami/mantan istri atau anak-anak kalian atau saudara kalian yang telah ditetapkan sebagai pemegang hak asuh anak cenderung melakukan hal-hal buruk di atas, maka kalian dapat menuntut agar pengadilan memutuskan untuk mencabut hak asuh anak daripadanya. Namun ada Batasan untuk membuat permohonan pencabutan hak asuh anak. Yang dapat mengajukan permohonan hak asuh anak yaitu:

1. Orang tua yang lain, atau;

2. Keluarga anak dalam garis lurus ke atas (kakek, nenek), atau;

3. Saudara kandung yang telah dewasa, atau;

4. Pejabat yang berwenang.

Permohonan atau gugatan dapat diajukan di Pengadilan Agama atau Pengadilan Negeri.

Kemudian bagi orang tua yang telah dicabut hak asuhnya, tidak akan mehilangkan tanggungjawab atau kewajibannya sebagai orang tua untuk memberikan biaya pemeliharaan kepada anak tersebut. Jadi walaupun sudah tidak memiliki hak terhadap anak-anak mereka, mereka masih harus memberikan semua kebutuhan anak baik kebutuhan makanan, pakaian, pendidikan dan lain sebagainya sampai anak tumbuh dewasa.




Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama